Mungkin
kita pernah mendengar ucapan dari beberapa guru di SMA, saat memasuki masa-masa
terakhir di sekolah. “Kalau kalian nanti mau melanjutkan kuliah, jangan
khawatirkan biaya kuliahnya. Yang penting kalian belajar yang baik, kalau dapat
nilai bagus, kalian bisa ambil beasiswa di tempat kuliah nanti.” Kurang lebih,
seperti itu perkataan beberapa guru terdahulu. Namun, muncul masalah baru
setelah kuliah berjalan dua sampai tiga semester, ternyata kebanyakan beasiswa
diberikan kepada orang yang tidak mampu dengan memperlihatan SKTM dari RT/RW
ataupun Kelurahan.
Masalah
selanjutnya adalah kriteria tidak mampunya itu seperti? Apakah yang menjadi
tolak ukur sehingga suatu keluarga dinyatakan tidak mampu? Sampai sekarang itu
masih jadi pertanyaan bagi banyak orang. Lalu, mengapa sebagian besar beasiswa
di hampir seluruh universitas di Indonesia, penekanannya harus melampirkan “surat
keterangan miskin/tidak mampu” sebagai salah satu persyaratan yang harus
dipenuhi? Mengapa penekanannya tidak lebih mengarah ke “berprestasi” atau
“aktif dalam kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat”?
Sayangnya,
pengertian dari ‘surat keterangan miskin/tidak mampu’ itu masih ambigu, belum
jelas makna sebenarnya. Seseorang atau keluarga yang dikatakan tidak mampu itu
sebenarnya seperti apa? Apakah yang mempunyai sepeda motor, bisa makan tiga
kali sehari, punya gadget bagus, itu masih dikategorikan ‘tidak mampu’? Ataukah,
keluarga yang kekurangan dalam segi ekonomi dikarenakan anggota keluarganya
banyak atau kepala keluarganya sudah tiada, terlepas apakah mereka bisa makan
tiga kali sehari, punya gadget bagus dan punya motor? Atau keluarga yang punya
banyak hutang sekalipun rumahnya besar, dapat dikatakan tidak mampu? Lantas apa
definisi dari mampu, kurang mampu atau tidak mampu itu sendiri? Saya rasa kata “kurang
mampu” di sini, masih perlu dikaji ulang.
Menurut
saya, persyaratan beasiswa “tidak mampu” itu memiliki beberapa kelemahan.
Pertama, persyaratan beasiswa semacam ini bisa disalahgunakan bagi orang-orang yang sebenarnya ‘mampu’ dari segi finansial. Memang bukan salah dari penyelenggara beasiswanya, tapi salah yang menyalahgunakannya. Tapi bagaimanapun juga itu terjadi karena ada kesempatan. Terlebih, pada umumnya persyaratan pengajuan beasiswa hanya melampirkan nilai IPK/IPS terakhir dan SKTM saja. Nah, karena hal sesimpel itulah bisa dilakukan oleh siapa saja. Akhirnya, ada sebagian mahasiswa yang memanfaatkannya untuk mendapatkan beasiswa tersebut, yang digunakan untuk kepentingan pribadi (bukan keperluan pendidikan si penerima beasiswa), sedangkan pembayaran semester mahasiswa tersebut masih dibebankan kepada orangtuanya. Untuk nyicil motor bisa, beli gadget berharga mahal bisa, beli pulsa modem sebulan sekali bisa, beli rokok bisa, bayar uang kos bisa, lalu mengapa hanya demi mengurangi biaya kuliah atau hanya demi mendapatkan uang tahunan, malah mengajukan beasiswa yang penekanannya bagi “orang kurang mampu”? Ironisnya, tidak sedikit orang mampu yang berlagak kurang mampu, mendaftar beasiswa seperti ini. Dan mereka yang lolos justru bangga. Bangga karena lolos beasiswa dengan mengaku-ngaku kurang mampu?
Pertama, persyaratan beasiswa semacam ini bisa disalahgunakan bagi orang-orang yang sebenarnya ‘mampu’ dari segi finansial. Memang bukan salah dari penyelenggara beasiswanya, tapi salah yang menyalahgunakannya. Tapi bagaimanapun juga itu terjadi karena ada kesempatan. Terlebih, pada umumnya persyaratan pengajuan beasiswa hanya melampirkan nilai IPK/IPS terakhir dan SKTM saja. Nah, karena hal sesimpel itulah bisa dilakukan oleh siapa saja. Akhirnya, ada sebagian mahasiswa yang memanfaatkannya untuk mendapatkan beasiswa tersebut, yang digunakan untuk kepentingan pribadi (bukan keperluan pendidikan si penerima beasiswa), sedangkan pembayaran semester mahasiswa tersebut masih dibebankan kepada orangtuanya. Untuk nyicil motor bisa, beli gadget berharga mahal bisa, beli pulsa modem sebulan sekali bisa, beli rokok bisa, bayar uang kos bisa, lalu mengapa hanya demi mengurangi biaya kuliah atau hanya demi mendapatkan uang tahunan, malah mengajukan beasiswa yang penekanannya bagi “orang kurang mampu”? Ironisnya, tidak sedikit orang mampu yang berlagak kurang mampu, mendaftar beasiswa seperti ini. Dan mereka yang lolos justru bangga. Bangga karena lolos beasiswa dengan mengaku-ngaku kurang mampu?
Pernah
suatu kali saya membaca tentang pengumuman beasiswa dari sebuah lembaga
Provinsi yang mensyaratkan SKTM dan sebagian besar teman saya ikut mendaftar.
Namun ada beberapa teman saya yang tidak ikut seperti yang lainnya. Ketika saya
bertanya kepada seorang teman, mengapa ia tidak ikut mengambil beasiswa
tersebut, ia menjawab, “Kata orang tua Nda (samaran), kalau kita ikut padahal
kita mampu, itu sama saja dengan mendo’akan kalau kita memang orang yang kurang
mampu. Lagipula, orang tua Nda masih mampu kok buat biayain Nda kuliah,
walaupun kadang pas-pasan juga.” Dari jawaban tersebut, menurutnya, bahwa orang
yang sebenarnya mampu namun mengikuti beasiswa yang penekanannya harus
melampirkan SKTM, mendoakan dirinya sendiri agar menjadi tidak mampu pula.
Bukankah beasiswa semacam itu lebih berhak diterima oleh orang yang benar-benar
kurang mampu?
Jika
kita mengkaji ulang, beasiswa itu sejatinya adalah apresiasi atau hadiah yang
diberikan oleh suatu pihak/lembaga/individu kepada orang yang memang
"pantas" untuk mendapatkannya, bukan karena masalah keuangan. Tapi
kenyataannya, mayoritas mahasiswa atau masyrakat lebih sering mengartikan
beasiswa sebagai bantuan keuangan kepada yang kurang mampu, bukan
apresiasi/hadiah atas suatu prestasi yang telah tercapai.
Setiap
pelajar atau mahasiswa pasti ingin mendapat beasiswa, begitupun saya pribadi.
Tapi, jika penekanannya lebih kepada "tidak mampu" hingga menyertakan
"SKTM", saya lebih memilih untuk tidak berpartisipasi dan akan
menunggu beasiswa yang penekanannya pada "keaktifan" atau
"prestasi". Saya sependapat dengan apa yang dikatakan oleh teman saya
tersebut. Alhamdulillah, meskipun saya tidak lahir di keluarga yang kaya, tapi
orang tua saya masih mampu bekerja untuk kepentingan pendidikan anak-anaknya,
seperti saya yang sedang mengambil S-1 Jurusan Pendidikan Matematika, adik saya
yang akan masuk kuliah pada tahun akademik nanti, dan si bungsu yang masih SD. Walaupun
terkadang saya sendiri merasa untuk kegiatan pergi-pulang ke kampus masih
sangatlah minim, namun saya bersyukur karena kami masih bisa mengenyam
pendidikan hingga sekarang.
Kembali
lagi kepada permasalahan yang ada, mahasiswa seringkali mencari beasiswa untuk
melancarkan perkuliahannya. Institusi atau pihak kampus biasanya mendapatkan
beberapa program beasiswa, ada beasiswa gakin (beasiswa untuk orang yang kurang
mampu secara materi), beasiswa prestasi (berdasarkan nilai IPK), dan
beasiswa-beasiswa program pemerintah dari luar kampus, misalnya Bank Indonesia.
Persyaratan dalam penerimaan beasiswa ini seringkali dimintai Surat Keterangan Tidak
Mampu (SKTM), surat ini didapat berdasar survey dari RT, RW, Kelurahan dimana
mahasiswa tersebut bertempat tinggal. Beasiswa tanpa persyaratan SKTM biasanya
diberikan oleh pihak perusahaan swasta.
Beasiswa
yang ditawarkan oleh sebuah institusi seringkali meminta surat SKTM. Sehingga
mahasiswa yang ingin memperoleh beasiswa berdasarkan murni dari kecerdasaannya
merasa kecewa, apalagi jika secara materil, orangtuanya mampu menghidupinya
bahkan lebih dari biaya kuliah. Tidaklah etis ketika sebuah keluarga yang mapan
meminta SKTM ke Kelurahan. Namun dilain sisi, mahasiswa yang membutuhkan uang
untuk kebutuhan pribadinya ingin sekali mendapatkan beasiswa tersebut. Hingga
akhirnya, ia berusaha meminta SKTM itu pada perangkat desanya. Melihat
persyaratan beasiswa disertai dengan SKTM, perlulah kita renungkan kembali,
apakah benar pemilik SKTM itu adalah orang yang kurang mampu? Secara individu,
mahasiswa memanglah kurang mampu, karena mahasiswa bergantung pada orangtuanya
(kecuali mahasiswa mandiri, yang menghidupi dirinya sendiri). Jika ternyata
pemilik SKTM tidak hanya dari kalangan kurang mampu, lalu bagaimana nasib
mereka yang kurang mampu? Misalkan ada mahasiswa mampu (dari segi ekonomi
keluarganya) namun memang benar-benar memiliki IPK tinggi meminta SKTM pada
perangkat desanya, maka secara tidak langsung, ia melakukan tindakan perendahan
diri dan keluarganya. Sehingga secara tidak langsung pula, mahasiswa
tersebut diajarkan dan dididik untuk bersikap ‘meminta’ dan ‘merasa kurang’.
Beasiswa
“untuk yang tidak mampu” seharusnya diperuntukkan bagi mahasiswa tidak mampu,
yang secara ekonomi kesulitan untuk membiayai kehidupannya. Bila yang terjadi
di lapangan adalah mahasiswa mampu menerima beasiswa, maka lain cerita. Lalu bagaimana
pihak akademik menanggapi hal ini? Pada akhirnya, merasa mampu atau tidak mampu
itu bukanlah sebatas hal finansial, melainkan juga dari segi mental. Sedangkan
korban dari permasalahan ini adalah keluarga dengan ekonomi menengah. Kaya
tidak, miskin pun tidak, untuk membayar kuliah tetap saja susah.
Tanjungpinang, 17 Jan 2017
Oleh: Raio Achan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar